Oral sex (seks), masturbasi, dan onani merupakan istilah yang sangat populer diangkat
dalam seminar-seminar kesehatan atau dalam artikel-artikel kesehatan. Namun,
pembahasan dalam lingkup agama masih sedikit dibanding dari sisi medis dan
kebiasaaan. Berikut ini kami ketengahkan beberapa artikel menarik seputar oral
seks, masturbasi, dan onani dengan fatwa-fatwa para ulama.
1. Oral Seks
Pertanyaan: “Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan
(penis) suaminya dengan mulutnya (oral seks), dan seorang lelaki
sebaliknya?”
Dan dalam kitab Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min
Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet.
Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh
AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai
berikut:
“Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis)
suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?”
Beliau (rahimahullah) menjawab: “Ini adalah perbuatan sebagian
binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits,
Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan
beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti tolehan srigala
dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi
Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir,
maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan
-sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan
tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim –dan keadaannya seperti ini- merasa
tinggi untuk menyerupai hewan-hewan.”
Pertanyaan: “Apa hukum oral seks?”
Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh
AI-`Allamah `Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam
sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut:
“Apa hukum oral seks’?”
Beliau (hafidhahullah) menjawab: “Ini adalah haram, karena is
termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun, banyak di kalangan kaum muslimin
yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari’at,
akal, dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya
untuk mengikuti rangkaian film-film porno melalui video atau televisi yang
rusak. Seorang lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan
ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia
berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka
tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alahi wa sallam.”
Penulis: Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
hafizhohullah
Dikutip dari majalah An-Nashihah Volume 10 1427H/2006M
2. Onani atau
Masturbasi
Pertanyaan: “Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani atau masturbasi) ?”
1. Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan
-hafizhahullah-
Tanya : “Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal.
Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Tanya : “Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal.
Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/ kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”[QS. Al-Mu`minun: 5 - 6]
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/ kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”[QS. Al-Mu`minun: 5 - 6]
Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak
perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk
menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para
pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia
menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa
karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”. (HR. Al-Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari
Ibnu Mas’ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk
mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara
: berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu.
Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda
diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan
begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan
dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.
Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan
untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang
mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di
antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan
perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda
wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak
wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir
yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau
tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang
diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda
kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan
dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh
syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun
dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah
dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
2. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
-rahimahullah-
Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Jawab:
“Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.
“Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan, “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.”
[QS. Al-Mu'minun: 5 - 7]
Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya
atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia
melanggar batas berdasarkan ayat di atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah
segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga
kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena
puasa itu dapat membentenginya.” (HR. Al-Bukhari: 4/106 dan Muslim no. 1400
dari Ibnu Mas’ud]
Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya
melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah
dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak
boleh.
Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As ilah muhimmah ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin
dari buku Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama
Al-Balad Al-Haram]
3. Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-
Tanya:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Tanya:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab:
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5 – 7]
Orang yang melampuai batas artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5 – 7]
Orang yang melampuai batas artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang
tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah
melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.
Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di
atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia
itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak.
Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya
sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.
Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah
ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban
anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu,
karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan
juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi
apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi
siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir
terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika
belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam,“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang
mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih
menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum
mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.”
Di dalam hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang
belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”,
akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya
berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan dua hal, yaitu :
Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Maka hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama
dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan
nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah,
Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.
Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti
mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya, “Ada tiga
orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab
(budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya.
Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan
mujahid (pejuang) di jalan Allah.” (HR. At-Tirmizi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar